PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari – hari kita sering
mendengar istilah “Guru” , dan yang langsung terbesit dari kata tersebut adalah
orang yang memberikan pelajaran bagi siswanya, dengan kata lain guru sebagai
subjek (pemain) dan siswa sebagai objek (penonton) dimana peran guru sangat
dominan dan sering kali peoses pembelajarannya hanya berjalan satu arah, dari
guru ke siswa. Pelaksanaan kegiatan di kelas seorang guru masih menggunakan
proses pengajaran secara klasikal. Istilah klasikal bisa diartikan sebagai
secara klasik yang menyatakan bahwa kondisi yang sudah lama terjadi, bisa juga
diartikan sebagai bersifat kelas. Jadi pembelajaran klasikal berarti
pembelajaran konvensional yang biasa dilakukan di kelas selama ini, yaitu
pembelajaran yang memandang siswa berkemampuan tidak berbeda sehingga mereka mendapat
pelajaran secara bersama, dengan cara yang sama dalam satu kelas sekaligus. Ibarat
murid memakai pakain seragam dengan ukuran yang sama. [1]
Dalam model ini siswa belum mendapat
kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya, hal ini terjadi karena kecenderungan
peran guru dan di lain pihak siswa masih belum berani untuk mengemukakan
pendapatnya di karenakan masih sangsi jika melanggar etika hormat terhadap
guru. Padahal peran seorang guru adalah sebagai fasilitator, sebagai
pembimbing, sebagai penyedia lingkungan yang berupaya menciptakan lingkungan
yang menantang siswa agar melakukan kegiatan belajar, sebagai komunikator,
sebagai model yang memberikan contoh yang baik kepada siswanya agar berperilaku
baik, sebagai evaluator, sebagai innovator, sebagai agen moral dan politik,
sebagai agen kognitif yang menyebarkan ilmu pengetahuan kepada peserta didik
dan masyarakat, dan sebagai manager yang memimpin kelompok siswa agar berhasil
di dalam kelas.[2]
Alahasil dalam proses pembalajaran model klasikal ini pun kurang optimal akibat
kurang berkembangnya potensi kognitif, afektif, dan konatif siswa. Hal ini
tentunya sangat berpengaruh terhadap hasil akhir yang diperoleh siswa. Dan
membuat proses pembelajaran tidak berjalan dengan nyaman dan menyenangkan
sehingga menjadi beban psikologis bagi siswa.
2.
PERMASALAHAN
Dari uraian di atas mencerminkan
bahwa proses belajar masih belum tertuju pada kurikulum yang telah disusun,
Padahal kurikulum itu mengacu pada tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan
Indonesia tercantum dalam UU Nomor 2 tahun 1989 yang secara jelas disebutkan
Tujuan Pendidikan Nasional yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantab dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.[3]
Berdasarkan UU tersebut jelas terlihat bahwa tujuan pendidikan mencakaup segala
aspek dalam kehidupan. Tentunya orang yang telah selesai dalam pedidikannya
seharusnya sudah mencapai tujuan pendidikan yang di rumuskan di dalam UU. Tapi
pada kenyataanya orang yang sudah menyelesaikan pendidikan tidak dapat mencapai
tujuan pendidikan yang telah di gariskan UU, hal ini terjadi karena beberapa
sebab, diantaranya seperti tidak berhasilnya proses pembelajaran selama ia menempuh
pendidikannya, sehingga ia tidak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam
dirinya. Dari sebab ini maka harus dilakukan adanya evaluasi untuk mencapai
tujuan pendidikan yang seutuhnya. Jadi untuk mencapai tujuan pendidikan kita
harus berkreasi dan berinofasi untuk mengembangkan proses pendidikan yang
tepat. Disinilah peran guru di tuntut bukan hanya sekedar “Mengajarkan” siswa tapi
“Membelajarkan” siswa dan membuat siswa belajar dengan fasilitasi dari guru.
Sehingga para siswa dapat mengembangkan
potensi yang ada dalam dirinya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional
indonesia yang seutuhnya. Oleh karena itu seorang guru harus mendesain atau
merancang segala bentuk kegiatan pembelajaran yang akan di laksanakan di dalam
kelas guna meminimalisir segala kemungkinan permasalahan yang akan terjadi,
dengan kata lain seorang guru harus menyusun strategi pembelajaran untuk menghadapai
setiap permasalahan dan menemukan solusi untuk setiap permasalahan yang
terjadi.
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN DESAIN STRATEGI PEMBELAJARAN
Desain strategi
pembelajaran merupakan satu elemen dari empat unsur utama (yang mutlak harus
serasi dan sesuai antara elemen yang satu dan yang lain, meskipun wujudnya
berbeda) dari sebuah desain pembelajaran, yaitu desain materi (content design),
desain kompetensi / tujuan pembelajaran / hasil pembelajaran (competency
learning objectives design), desain metode / strategi / teknik pembelajaran
(instructional strategies design), dan desain evaluasi (evaluation desain).
Desain pembelajaran mutlak dikontekstualisasikan dengan desain kompetensi,
desain materi mata kuliah, dan desain evaluasi yang fair.[4]
Desain strategi pembelajaran ini memang sangat di butuhkan guna sebagai acuan
untuk mencapai kompetensi atau tujuan pendidikan.
Mengajar adalah membuat
hasil belajar dapat tercapai (teaching as making learning possible). Ini dapat
diterjemahkan secara kontekstual bahwa mengajar adalah usaha yang memanfaatkan
berbagai strategi, metode, dan teknik guna memungkinkan tercapainya kompetensi
/ hasil belajar tertentu (dalam arti, terjadinya perubahan dari tidak bisa
menjadi bisa, dari tidak mampu menjadi mampu). Implikasi perubahan ini adalah
semakin tinggi kualitas kompetensi hasil belajar yang diperoleh siswa atau
mahasiswa, semakin tinggi pila tingkat kualitas kompetisi yang kelak mereka
perankan dengan realitas.[5]
Dalam kehidupan sehari-hari
sering kita dapati “Pendidikan tanpa Ilmu Pendidikan” maksudnya adalah banyak
orang yang menjadi guru tapi tanpa tau bagaimana menjadi seorang guru, tata
caranya, etikanya dan lain sebagainya atau mungkin karena latar belakang
pendidikannya bukan dari ilmu kependidikan. Ini tentunya sangat menghambat
proses pencapaian kompetensi, berkaca dari hal ini, seorang guru dituntut untuk
dapat mengembangkan desain pembelajaran guna tercapainya kompetensi.
Arti penting strategi
pembelajaran adalah kunci peningkatan jaminan kualitas pembelajaran. Strategi
pembelajaran aktif merupakan satu alternatif yang memungkinkan untuk melakukan
kontekstualisasi guna menciptakan partisipasi aktif mahasiswa dalam proses
pembelajaran, yang pada gilirannya mendorong kemudahan peningkatan jaminan
kualitas perdosenan.[6]
Hal ini juga bisa diterapkan kepada siswa sekolah dasar atau menengah untuk
mengembangkan partisipasi aktif mereka.
2.
MENDESAIN STRATEGI PEMBELAJARAN
Salah satu tujuan dari
pendidikan adalah menolong anak mengembangkan potensinya semaksimal mungkin,
dan karena itu pendidikan sangat menguntungkan bagi anak maupun bagi
masyarakat. Anak didik memandang sekolah sebagai tempat mencari sumber “bekal”
yang akan membuka dunia bagi mereka. Orang tua memandang sekolah sebagai tempat
di mana anaknya akan mengembangkan kemampuannya.
Bimbingan merupakan
sebagian dari pendidikan yang menolong anak tidak hanya mengenal diri serta
kemampuannya tetapi juga mengenal dunia sekitarnya. Tujuan bimbingan adalah
untuk menolong anak didik dalam perkembangan seluruh kepribadian dan
kemampuannya. Hal ini hanya dapat tercapai apabila potensi, pribadi dan segala
hal yang berpengaruh diketahui sebelumnya. Dengan kata laian agar dapat
menolong anak ia harus dikenal dalam segala aspeknya dan dalam konteks
(situasi) hidupnya dimana ia hidup. Tanpa pengenalan tidak mugkin kita membuat
rencana yang efektif untuk mengadakan perubahan dalam diri anak tersebut. Tidak
mugkin kita membahas jalan keluar atau penyelesaian dari masalah anak. Dengan
singkat, bimbingan yang benar dan yang dapat berhasil harus didasarkan pada
pengenalan terhadap dan tentang anak didik yang dibimbingnya.[7]
Dalam kegiatan belajar
mengajar tidak semua anak didik mampu berkonsentrasi dalam waktu relatif lama.
Daya serap anak didik terhadap bahan yang diberikan juga bermacam-macam, ada
yang cepat, ada yang sedang, dan ada yang lambat. Faktor inteligensi
mempengaruhi daya serap anak didik terhadap bahan pelajaran yang diberikan oleh
guru. Cepat lambatnya penerimaan anak didik terhadap bahan pelajaran yang diberikan
menghendaki pemberian waktu yang bervariasi, sehingga penguasaan penuh dapat
tercapai. Menurut Dra Roestiyah. N.K. (1989:1) guru harus memiliki strategi
agar anak didik dapat belajar secara efektif dan efisien, mengena pada tujuan
yang diharapkan.[8]
Desain strategi
pembelajaran harus sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai dosen dan
mahasiswa. Strategi pembelajaran adalah alat atau media, bukan tujuan
pembelajaran. Strategi pembelajaran dikatakan tepat jika sesuai dengan
kecenderungan kompetensi sebagai totalitas hasil belajar yang akan
dikembangkan, yakni apakah lebih bersifat kognitif, afektif atau psikomotorik.
Tingkat berpikir yang
berbeda membutuhkan strategi pembelajaran yang tepat. Pengembangan berpikir ini
menjadi tujuan pembelajaran dari mata kuliah tertentu. Pengembangan hasil
belajar ini dapat dikelompokakan kedalam ranah atau domain kognisi (kognitif).
Benyamin Bloom menjelaskan bahwa domain kognisi (al-‘aqlaniyah) terdiri
atas 6 tingkatan, mulai dari yang sederhana sampai yang sangat kompleks, yaitu knowledge
(pengetahuan), comprehension (pemahaman), aplication
(penerapan), analysis (analisis), dan evaluation (penilaian).
Jika studi sosial
memiliki nilai-nilai seperti kepribadian, yang menjadi tujuan pembelajaran,
maka ia dimasukan kedalam kelompok domain afeksi (nafsaniyah / afektif).
David R. Krathwohl menjelaskan bahwa domain afeksi atau al-nafsaniyah terdiri
atas 5 level. Tingkat domain itu dimulai dari yang sederhana sampai yang sangat
kompleks, yaitu receivng, responding, valuing, organization , dan
characterization. Kemampuan pada tingkat yang tinggi akan sekaligus
memenuhi kemampuan dibawahnya.
Demikian halnya dengan
domain psikomotorik yang menembangkan kemampuan motorik, mulai dari yang
sederhana sampai yang sangat kompleks. Tentu saja hal ini membutuhkan strategi
yang tepat seperti preception, set,
guided response, mechanism, complex over response, adaption, dan orgaization.
Jika sebuah kompetensi mengandung pengembangan totalitas hasil belajar yang
meliputi berbagai domain, maka ia juga membutuhkan berbagai strategi pembelajaran
yang tepat.[9]
A.
Pendekatan dalam Strategi Pembelajaran
Dalam desain strategi
pembelajaran terdapat dua pendekatan pembelajaran jika pelayanan ditafsirkan
sebagai satu proses pembelajaran, sebagaimana yang dapat direflesikan dari
teori John Paul Lederach dalam bukunya Preparing for Peace, Conflict
Transformation across cultures:
Prespective
|
Elicitive
|
Pembelajaran sebagai transfer (Training as transfer)
|
Pembelajaran sebagai proses penemuan dan penciptaan (Training
as discovery and creation)
|
Sumber daya/kapital: model dan pengetahuan dosen (Resource:
model and knowledge of trainer)
|
Sumber daya/kapital: pengetahuan dalam konteks (Resource:
within-setting knowledge)
|
Pembelajaran berorientasi materi: pendekatan penguasaan dan
teknik (Training as content oriented: master approach and technique)
|
Pembelajaran berorientasi proses: pertisipasi dalam penciptaan
model (Training as process oriented: participate in model creation)
|
Pemberdayaan sebagai belajar cara dan strategi baru menghadai
konflik (Empowerment as learning new ways and strategies for facting
conflict)
|
Pemberdayaan sebagai proses validasi dan pembinaan berdasarkan
konteks (Empowerment as validating and building from context)
|
Dosen sebagai pakar, model dan fasilitator (Trainer as expert,
model, dan facilitator)
|
Dosen sebagai katalisator dan fasilitator (Trainer as catalyst
and facilitator)
|
Kebudayaan sebagai kumpulan teknik (Culture as techniques)
|
Kebudayaan sebagai landasan dan tempat persemaian (Culture as
foundation and seedbed)
|
Pendekatan juga mutlak didukung oleh
sikap dosen yang terbuka, mau mendengarkan pendapat mahasiswa, membiasakan
mahasiswa mendengarkan pendapat orang lain, menghargai perbedaan pendapat,
mentolerir kesalahan mahasiswa dan mendorong untuk memperbaikinya, menumbuhkan
rasa percaya diri, memberikan umpan balik terhadap hasil kerja mahasiswa, tidak
terlalu cepat membantu, tidak terlalu cepat menanggapi jika mahasisiwa salah,
tidak kikir untuk memuji, tidak menertawakan pendapat/hasil kerja mahasiswa,
dan mendorong mahasiswa untuk tidak takut salah.[10]
Menurut Drs. Syaiful
Bahri Djamarah ada beberapa pendekatan dalam proses belajar mengajar yang dapat
dipakai oleh para pendidik yaitu :
1)
Pendekatan
individual. Pendekatan ini mempunyai arti yang sangat penting bagi kepentingan
pengajaran. Pengelolaan kelas sangat memerlukan pendekatan individual ini.
Pemilihan metode tidak bisa begitu saja mengabaikan kegunaan pendekatan
individual, sehingga guru dalam melaksanakan tugasnya selalu saja melakukan
pendekatan individual terhadap anak didik di dalam kelas. Persolan kesulitan
belajar anak lebih mudah dipecahkan dengan menggunakan pendekatan individual,
walaupun suatu saat pendekatan kelompok diperlukan.
2)
Pendekatan
kelompok. Anak didik adalah sejenis makhluk hidup homo socius, yakni
makhluk yang berkecenderungan untuk hidup bersama. Dengan pendekatan kelompok
ini diharapakan dapat tumbuh rasa sosial yang tinggi pada diri setiap anak
didik. Ketika guru ingin menggunakan pendekatan kelompok, maka guru harus sudah
mempertimbangkan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan tujuan, fasilitas
belajar pendukung, metode yang akan dipakai sudah dikuasai, dan bahan yang
diberikan kepada anak didik memang cocok didekati dengan pendekatan kelompok.
Karena itu pendekatan kelompok tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi
harus mempertimbangkan hal-hal lain yang ikut mempengaruhi penggunaanya.
3)
Pendekatan
bervariasi. Dalam mengajar, guru hanya menggunakan satu metode biasanya sukar
menciptakan suasana kelas yang kondusif dalam waktu relatif lama. Bila terjadi
perubahan suasana kelas, sulit menormalkannya kembali. Efisiensi dan
efektivitas pencapaian tujuan pun terganggu, disebabkan anak didik kurang
berkonsentrasi. Metode yang hanya satu-satunya dipergunakan tidak dapat
diperankan, karena memang gangguan itu terpangkal dari kelemahan metode
tersebut. Karena itu, dalam mengajar kebanyakan guru menggunakan bebrapa metode
dan jarang sekali menggunakan satu metode.
4)
Pendekatan
edukatif. Kebanyakan guru telah melakukan pendekatan yang salah. Guru telah
menggunakan teori power, yakni teori kekuasaan untuk menundukan orang
lain. Dalam pendidikan, guru akan kurang arif dan bijaksana bila menggunakan
kekusaan, karena hal itu bisa merugikan pertumbuhan dan perkembangan
kepribadian anak didik. Pendekatan yang benar bagi guru adalah dengan melakukan
pendekatan edukatif. Setiap tindakan, sikap, dan perbuatan yang guru lakukan
harus bernilai pendidikan, dengan tujuan untuk mendidik anak didik agar
menghargai norma hukum, norma susila, norma moral, norma sosial, dan norma
agama.
5)
Pendekatan
keagamaan. Pendekatan ini dapat membantu guru untuk memperkecil kerdilnya jiwa
agama di dalam diri siswa, yang pada akhirnya nilai-nilai agama tidak
dicemoohkan dan dilecehkan, tetapi kini dipahami, dihayati, dan diamalkan selama
hayat siswa dikandung badan.
Selain berbagai
pendekatan diatas, ada lagi
pendekatan-pendekatan lain. Berdasarkan kurikulum atau Garis-garis Besar
Program Pengajaran (GBPP) Pendidikan Agama Islam SLTP Tahun 1994 disebutkan
lima macam pendekatan untuk pendidikan agama Islam, yaitu:
1)
Pendekatan
pengalaman. Untuk pendekatan ini maka metode mangajar yang perlu
dipertimbangkan, antara lain adalah metode pemberian tugas (resitasi) dan tanya
jawab mengenai pengalaman keagamaan siswa.
2)
Pendekatan
pembiasaan. J.B. Watson (1991:291) berpendapat, bahwa reaksi-reaksi kodrati
yang dibawa sejak lahir itu sedikit sekali. Kebiasaan-kebiasaan itu terbentuk
dalam perkembangan, karena latihan dan belajar. Jadi, dalam masalah kebiasaan
ini, aliran Behaviorisme dari J.B. Watson dan aliran Empirisme dari
John Locke lebih domonan daripada aliran Nativisme dari Schopenhour.
Bertolak dari pendidikan kebiasaan itulah yang menyebabkan kebiasaan dijadikan
sebagai pembiasaan pendekatan.
3)
Pendekatan
emosional. Emosi atau perasaan adalah sesuatu yang peka. Emosi akan memberi
tanggapan (respons) bila ada rangsangan (stimulus) dari luar diri
seseorang. Baik rangsangan verbal maupun nonverbal, mempengaruhi kadar emosi
seseorang. Rangsangan verbal itu misalnya ceramah, cerita, sindiran, ejekan,
pujian, berita, dialog, anjuran, perintah, dan sebagainya. Sedangkan rangsangan
nonverbal dalam bentuk perilaku berupa sikap dan perbuatan. Emosi mempunyai
peranan penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Itulah sebabnya
pendekatan emosional yang berdasarkan emosi atau perasaan dijadikan sebagai
salah satu pendekatan dalam pendidikan dan pengajaran.
4)
Pendekatan
rasional. Usaha yang terpenting bagi guru adalah bagaimana memberikan peranan
kepada akal (rasio) dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama,
termasuk mencoba memahami hikmah dan fungsi ajaran agama. Karena keampuhan akal
(rasio) itulah akhirnya dijadikan pendekatan yang disebut pendekatan rasional
guna kepentingan pendidikan dan pengajaran disekolah. Untuk mendukung pemakaian
pendekatan ini, maka metode mengajar yang perlu dipertimbangkan antara lain
adalah metode ceramah, tanya jawab, diskusi, kerja kelompok, latihan, dan
pemberian tugas.
5)
Pendekatan
fungsional. Pendekatan fungsional yang diterapkan disekolah diharapkan dapat
menjembatani harapan memberantas kebodohan dan pengisi kekosongan intelektual
serta mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memperlicin jalan
kearah itu, tentu saja diperlukan pengguanaan metode mengajar. Dalam hal ini
ada beberapa metode mengajar yang perlu dipertimbangkan antara lain, metode
latihan, pemberian tugas, ceramah, tanya jawab, dan demonstrasi.[11]
Dra. Hj. Nur Uhbiyati
juga mengemukakan bahwa pendidikan islam dalam mengupayakan materi pendidikan
dan pengajaran islam agar dapat diterima oleh obyek pendidikan adalah dengan
menggunakan pendekatan yang bersifat multi approach yang dalam
pelaksanaanya meliputi hal-hal berikut:
1)
Pendekatan
religius yang menitik beratkan kepada pandangan bahwa manusia adalah makhluk
yang berjiwa religius dengan bakat-bakat keagamaan.
2)
Pendekatan
filosofis yang memandang bahwa manusia adalah makhluk rasional atau homo
rationale, sehingga segala sesuatu yang menyangkut pengembangannya
didasarkan pada sejauh mana kemampuan berpikirnya dapat dikembangkan sampai
pada titik maksimal perkembangannya.
3)
Pendekatan
sosio kultural yang bertumpu pada pandangan bahwa manusia adalah makhluk
yang bermasyarakat dan berkebudayaan sehingga dipandang sebagai homo sosius
dan homo sapiens dalam kehidupan bermasyarakat yang berkebudayaan.
Dengan demikian pengaruh lingkungan masyarakat dan perkembangan kebudayannya
sangat besar artinya bagi proses pendidikan dan individunya.
4)
Pendekatan
scientific dimana titik beratnya terletak pada pandangan bahwa manusia memiliki
kemampuan menciptakan (kognitif), berkemauan (konatif), dan merasa (emosional
atau efektif). Pendidikan harus dapat mengembangkan kemampuan analitis-analitis
dan reflektif dalam berpikir.[12]
B.
Pembelajaran Pasif, Aktif dan Atraktif
Keberhasilan pencapaian kompetensi satu
mata pelajaran bergantung kepada beberapa aspek. Salah satu aspek yang sangat
mempengaruhi adalah bagimana cara guru dalam melaksanakan pembelajaran.
Kecenderungan pembelajaran saat ini masih berpusat pada guru dengan bercerita
atau berceramah (pembelajaran pasif).[13]
Berikut adalah kelebihan dan kelemahan metode ceramah (pasif) :
Ø
Kelebihan
ceramah
-
Sangat
baik untuk materi baru yang belum tersedia dalam bentuk hard copy
-
Dapat
digunakan untuk kelas besar
-
Materi
yang banyak dapat disampaikan dalam waktu singkat
-
Sangat
baik digunakan untuk kognisi dan/atau afeksi tingkat rendah
-
Lebih
ekonomis, khususnya dari segi biaya
Ø
Kelemahan
ceramah
-
Strategi
ceramah membuat siswa/mahasiswa menjaga daya tahannya untuk berkonsentrasi
dengan menggunakan indra telinga yang terbatas
-
Strategi
ceramah membuat siswa/mahasiswa terganggu oleh hal-hal visual
-
Strategi
ceramah membuat siswa/mahasiswa sulit menentukan gagasan guru atau dosen yang
bersifat analisis, sintesis, kritis dan evaluatif
-
Strategi
ceramah dapat membuat siswa/mahasiswa cenderung diperlakukan sama rata oleh
guru atau dosen
-
Strategi
ceramah membuat guru atau dosen cenderung bersifat otoriter
-
Strategi
ceramah membuat kelas monoton
-
Strategi
ceramah membuat kelas doktiner
Untuk mengurangi
beberapa kelemahan metode ceramah agar dapat lebih memenuhi sasaran perubahan
kompetensi/hasil belajar/tujuan pembelajaran, tampaknya langkah-langkah dibawah
ini akan banyak membantu dosen atau guru mengoptimalkan metode atau strategi.
vMembangun minat
a)
Awali
dengan cerita atau gambar
b)
Ajukan
kasus/masalah
c)
Ajukan
pertanyaan
vMemaksimalkan pemahaman dan ingatan
d)
Berikan
kata-kata kunci
e)
Berikan
contoh dan analogi
f)
Gunakan
dukungan visual
vMelibatkan mahasiswa dalam perkuliahan
g)
Beri
mahasiswa kesempatan untuk memberikan contoh dan menjawab pertanyaan
h)
Selingi
presentasi dengan selingan singkat
vMemperkuat perkuliahan
i)
Terapkan
materi perkuliahan pada masalah riil
j)
Meminta
mahasiswa untuk me-review materi kuliah
Metode ceramah dalam
proses pembelajaran dari perspektif mahasiswa/siswa perlu diperhatikan dosen
atau guru. Butir-butir penting dibawah ini dapat menguntungkan siswa/mahasiswa
ketika dosen menggunakan ceramah sebagai strategi atau metode, yaitu:
1)
Menyajikan materi secara jelas dan logis
2)
Memungkinkan mahasiswa menguasi prinsip dasar
ilmu
3)
Dapat didengar dengan jelas
4)
Membuat materi bermakna secara jelas
5)
Meng-cover dasar ilmu secara memadai
6)
Menjaga kesinambungan mata kuliah
7)
Membantu dalam uraian
8)
Menunjukan sebagai seorang ahli
9)
Mengatur kecepatan bicara
10)
Ringkas, padat dan jelas
11)
Menggambarkan aplikasi praktis dan teori
12)
Memasukan materi yang tidak terakses dalam
teks[14]
Dari berbagai
kelemahan dan kelebihan ceramah (pasif) di atas, maka seorang guru atau dosen tak
jarang untuk memilih strategi pembelajaran aktif. Yang dimaksud dengan
pembelajaran aktif adalah pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa untuk
mengalami sendiri, untuk berlatih, untuk berkegiatan sehingga baik dengan daya
pikir, emosi, dan ketrampilannya mereka belajar dan berlatih.[15] Alasan
atau argumen yang mendasari pengguanan strategi pembelajaran aktif adalah :
· Argumen pertama: teori belajar Confusius
Berkaitan dengan
strategi pembelajaran, confusius telah mengatakan ribuan tahun yang lalu bahwa:
1.
What
i hear, i forget
2.
What
i see, i remember, dan
3.
What
i do, i understand
Tampaknya bagi Confucius,
strategi pembelajaran yang paling baik adalah yang melibatkan mahasiswa berlaku
aktif dalam praktik (berbuat). Sebab, dengan berbuat atau praktik, mahasiswa
telah memahami apa yang menjadi tujuan pembelajaran.
·
Argumen
kedua: teori belajar Mel Silberman
Mel Silberman
mengatakan dalam bukunya Active Learning: 101 Strategies To Teach Any
Subject bahwa:
1.
What
i hear, i forget
2.
What
i hear and i see, i remember a little
3.
What
i hear, see and ask questions about or discuss with someone else, i begin to
understand
4.
What
i hear, see, discuss, and do, i acquire knowledge and skill
5.
What
i teach to another, i master
Tampaknya, strategi pembelajaran yang paling bagus bagi Mel
Silberman adalah ketika mahasiswa mamapu berpura-pura menjadi dosen (what i
teach to another, i master).
· Argumen ketiga: learning styles
Gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan potensi diri, karena
ia berkaitan dengan kesenangan dalam mengembangkan diri. Untuk memuaskan
mahasiswa dalam proses pembelajaran, dosen disarankan untuk memperhatikan gaya
belajar mahasiswanya. Gaya belajar (learning style: visual learners=
see, auditory learnrs= hear, dan kinesthetic learners= involve) merupakan
karakteristik dan pilihan individu mengenai cara memeperoleh informasi,
mengorganisasikannya, menafsirkan atau meresponsnya, dan memikirkan informasi tersebut.
· Argumen keempat: teori mengajar
Ada tiga jenis toeri mengajar (theories of teaching). Pertama,
mengajar sebagai suatu proses transmisi atau penuturan. Mengajar mahasiswa
adalah suatu usaha dosen untuk menuangkan sebanyak-banyaknya materi pelajaran
kepada mahasiswa dengan lebih mengandalkan pemanfaatan kemampuan mendengar (auditori)
mahasiswa. Kedua, mengajar sebagai suatu usaha dosen untuk mengolah
proses pengorganisasian aktivitas mahasiswa. Tampaknya proses pembelajaran
disini hanya menekankan pada kesibukan mahasiswa dalam mengerjakan sesuatu
tanpa bimbingan, pengarahan, atau klarifikasi atas keberhasilan proses
pembelajaran. Ketiga, mengajar adalah sebuah proses untuk memperoleh
hasil belajar/kompetensi mahasiswa. Peran dosen disini dapat beragam, seperti
fasilitator, motivator, katalisator, atau model sesuai kompetensi yang
diharapkan dosen. Peran besar mahasiswa adalah mengolah sendiri, atau
menciptakan ilmu pengetahuan atau mencoba mengaitkannya dengan pengetahuan
sebelumnya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan adalah hasil rekayasa atau
konstruksi mahasiswa, sehingga strategi pembelajaran yang paling tepat adalah
pembelajaran aktif yang sesuai dengan tingkat kompetensi yang diharapkan.
·
Argumen
kelima: kesamaan cara kerja otak dengan komputer
Sebagaimana komputer, otak manusia juga memiliki software
yang kompleks yang terdiri atas ratusan juta folder tempat penyimapanan
informasi. Otak juga memiliki sistem pemanggilan ulang informasi (file)
dari folder. Disamping itu, otak manusia juga perlu di-on-kan
terlebih dahulu sebelum bekerja, dan lebih jauh diperlukan mengembangkan
apersepsi atau menumbuhkan motivasi sebelum masuk ke informasi yang lebih
mendetail dan sulit.
· Argumen keenam: how the brain works
Menurut perspektif kepentingan mahasiswa, pembelajaran aktif atau
inovatif sangat banyak membantu kemampuan mereka dalam menyimpan informasi
hasil belajar (ranah kognisi, afeksi, dan psikomotor) kedalam ingatan jangka
panjang (long term memory) otak mereka. Hasil belajar dalam ingatan jangka
panjang dimungkinkan banyak berhasil berdasarkan kerja working memory yang
didukung oleh pembelajaran aktif, seperti menggunakan berbagai strategi untuk
memberikan pengkodean, menemukan kembali, mentransformasikan, atau
mengintegrasikan guna menyimpan hasil belajar. Working memory process
menuntut para dosen bekerja lebih cerdas, intensif, dan penuh komitmen dalam
mencapai keberhasilan pembelajaran.
· Argumen ketujuh: social side of active learning
Pembelajaran aktif sebagai efek langsung atau tidak langsung dari
proses pembelajaran mahasiswa memiliki beberapa manfaat, yaitu:
-
Pembelajaran
aktif mendorong mahasiswa terbiasa hidup kolaboratif yang sama-sama bertujuan
mencapai keberhasilan tujuan pembelajaran
-
Pembelajaran
aktif membantu mahasiswa menemukan perspektif berbeda karena perbedaan
pengalaman hidup, kecenderungan harapan, atau tuntutan hasil belajar mereka
-
Pembelajaran
aktif mendorong kesadaran mahasiswa untuk bersikap toleran terhadap perbedaan,
ambiguitas dan kompleksitas.
-
Pembelajaran
aktif membantu mahasiswa mengenal dan menemukan akar-akar asumsi mereka
-
Pembelajaran
aktif mendorong mahasiswa terbiasa belajar mendengar yang santun, asertif, dan attentive
(penuh perhatian), dan lain-lain.[16]
Selain pembelajaran
aktif dan pasif, terdapat pula pembelajaran atraktif. Pembelajaran atraktif
adalah suatu proses pembelajaran yang mempesona, menarik, mengasyikan,
menyenangkan, tidak membosankan, bervariasi, kreatif dan indah. Tapi
pembelajaran atraktif ini biasanya digunakan di Taman Kanak-kanak dan kelas I
dan II SD.
C.
Teori Quantum untuk Pengembangan Pembelajaran
Dalam proses pembelajaran dikenal
banyak teori quantun, baik quantum learning, quantum taeching,
quantum reading, quantum writing, quantum business, maupun quantum
ikhlas. Teori quantum berisi teknik yang sangat praktis untuk memunculkan
potensi belajar, membaca, menulis, dan keikhlasan secara mudah dan
menyenangkan. Teori quantum yang diperkenalkan oleh Bobbi Deporter dan
Mike Hemacki dapat dipahami sebagai “interaksi yang mengubah energi menjadi
pancaran cahaya yang dahsyat”.
Quantum learning dapat didefinisikan sebagai interaksi-interaksi yang mengubah
energi menjadi cahaya. Semua kehidupan adalah energi. Quantum learning
merupakan interaksi yang terjadi dalam proses belajar yang mampu mengubah
berbagai potensi yang ada di dalam diri manusia menjadi pancaran
ledakan-ledakan gairah (dalam memperoleh hal-hal baru) yang dapat ditularkan
(ditunjukan) kepada orang lain. Mengajar, membaca, dan menulis merupakan salah
satu bentuk interaksi dalam proses belajar.[17]
Quantum berakar dari upaya Georgi
Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa
yang disebut sebagai “sugestologi” atau “sugestopedia”. Prinsipnya bahwa
sugesti dapat nan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detil
apapun memberikan sugesti positif ataupun negatif. Beberapa teknik umtuk
memberikan sugesti positif adalah menundukan peserta didik secara nyaman,
memasang musik latar di kelas, meningkatkan paoster untuk memberikan kesan
besar sambil menonjolkan informasi, dan menyediakan pendidik yang terlatih
dalam seni dan pengajaran sugestif.[18]
Hal yang penting dalam model
pembelajaran quantum adalah “kontak manfaat”. Sebab, dengan manfaat yang
ingin diraih oleh peserta didik berupa sehimpun motivasi (himmah) maka
hal itu secara bergelombang akan muncul dari dalam diri seseorang apabila
kegiatan yang ingin dilakukan oleh orang tersebut benar-benar dapat memberikan
manfaat yang sangat jelas dan konkret bagi yang bersangkutan. Kontak manfaat
dapat disebut sebagai alarm yang mengingatkan setiap peserta didik ketika
belajar, ia harus dapat memetik manfaat sebab jika tidak maka peserta didik
akan mudah bosan dan berhenti belajar. Selain itu, model quantum juga
harus memanfaatkan penghargaan yang sangat penting dalam pembelajaran.[19]
KESIMPULAN
Desain strategi pembelajaran sangat
penting kaitannya dengan pencapaian kompetensi atau tujuan pendidikan. Desain
strategi pembelajaran merupakan satu elemen dari empat unsur utama (yang mutlak
harus serasi dan sesuai antara elemen yang satu dan yang lain, meskipun
wujudnya berbeda) dari sebuah desain pembelajaran, yaitu desain materi (content
design), desain kompetensi / tujuan pembelajaran / hasil pembelajaran
(competency learning objectives design), desain metode / strategi / teknik
pembelajaran (instructional strategies design), dan desain evaluasi (evaluation
desain). Desain pembelajaran mutlak dikontekstualisasikan dengan desain
kompetensi, desain materi mata kuliah, dan desain evaluasi yang fair.
Desain strategi pembelajaran harus sesuai
dengan kompetensi yang ingin dicapai dosen dan mahasiswa. Strategi pembelajaran
adalah alat atau media, bukan tujuan pembelajaran. Strategi pembelajaran
dikatakan tepat jika sesuai dengan kecenderungan kompetensi sebagai totalitas
hasil belajar yang akan dikembangkan, yakni apakah lebih bersifat kognitif,
afektif atau psikomotorik. Dalam mendesain pembelajaran dapat menggunakan
beberapa pendekatan yaitu Prespective dan Elicitive serta pendekatan-pendekatan
lain yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Untuk tercapainya kompetensi,
strategi yang banyak digunakan adalah strategi pembelajaran aktif, hal ini
dikarenakan lebih mengena pada peserta didik atau mahasiswa sehingga mampu
mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Ada juga metode quantum yang bisa
juga digunakan dalam mendesain strategi pembelajaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Bermawy Munthe. 2009. Desain Pembelajaran. Yogyakarta : PT
Pustaka Insan Madani
Nurfuadi. 2012. Profesionalisme Guru. Yogyakarta & Buku
Litera: STAIN PRESS
Nur Uhbiyati. 2005. Ilmu Pendidiakan Isam. Bandung : CV
PUSTAKA SETIA
M. Dalyono. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. RINEKA
CIPTA
Moh. Roqib. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: LKiS
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. 2010. Srategi Belajar
Mengajar. Jakarta : PT. RINEKA CIPTA
Erman
Suherman, Hakikat Pembelajaran, http://educare.e-fkipunla.net , EDUCARE : Jurnal Pendidikan dan Budaya, di unduh pada
tanggal 11 Maret 2013
www.wikipedia.org/wiki/Dasar_Pendidikan, diunduh pada tanggal 12 Maret 2013
[1]Erman Suherman,
Hakikat Pembelajaran, http://educare.e-fkipunla.net , EDUCARE :
Jurnal Pendidikan dan Budaya, di unduh pada tanggal 11 Maret 2013
[2] Nurfuadi, Profesionalisme
Guru, (Yogyakarta & Buku Litera: STAIN PRESS, 2012), hlm. 129-130
[4] Bermawy
Munthe, Desain Pembelajaran, (Yogyakarta : PT Pustaka Insan Madani,
2009) hlm. 53
[5] Ibid hlm. 53
[6] Ibid hlm. 54
[7] M. Dalyono, Psikologi
Pendidikan, (Jakarta : PT. RINEKA CIPTA, 2005) hlm. 172-173
[8] Syaiful Bahri
Djamarah, Srategi Belajar Mengajar, (Jakarta : PT. RINEKA CIPTA, 2010)
hlm. 73-74
[9] Bermawy Munthe,
op.cit, hlm. 55-60
[10] Bermawy Munthe,
op.cit, hlm. 75-76
[11] Syaiful Bahri
Djamarah, op.cit, hlm. 53-69
[12] Nur Uhbiyati, Ilmu
Pendidiakan Isam, (Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2005) hlm. 194-195
[13] Nurfuadi, op.cit,
hlm. 138
[14] Bermawy Munthe,
op.cit, hlm. 61-63
[15] Nurfuadi, op.cit,
hlm. 139
[16] Bermawy Munthe,
op.cit, hlm. 63-69
[17] Moh. Roqib, Ilmu
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2009) hlm. 109-110 yang mengambil dari Hernowo (ed.), Quantum
Writing : Cara Cepat nan Bermanfaat untuk Merangsang Munculnya Potensi Menulis,
(Bandung: MLC, 2003) hlm. 10
[18] Ibid, hlm. 110
yang mengambil dari Bobbi Deporter dan Mike Hemacki, Quantum learning: Membiasakan
Belajar Nyaman dan Menyenangkan, (Bandung: Kaifa, 1999), hlm. 14
[19] Ibid, hlm. 110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar